Nuklir fukushima, seberapa berbahaya?

Jumat, 29 April 2011

Tidak banyak yang tersisa dari peristiwa gempa Pasifik di Tohoku Jepang, selain ketakutan akan bahaya radiasi nuklir paska kegagalan sistem pendingin reaktor nuklir Fukushima. Memang benar, Jepang telah melewati ujian dalam bidang konstruksi sipil dan sistem peringatan dini tentang bahaya tsunami. Hal ini bisa dilihat dari jumlah bangunan yang hancur dan korban jiwa terbilang sedikit untuk gempa dan tsunami yang skalanya mendekati gempa Aceh Indonesia.


Akan tetapi, tidak untuk krisis Nuklir di Fukushima. Reaktor tua, yang sebenarnya pensiun akhir Maret tahun ini, telah menyebabkan kekhawatiran di berbagai negara, bahkan Indonesia yang sedianya membangun PLTN di masa mendatang, kini bimbang berkaca dari kasus ini.

Kekhawatiran makin mencapai klimaksnya ketika skala radiasi nuklir Fukushima dinaikkan dari skala lima, yang setara dengan kasus Three Miles Island di Amerika Serikat, menjadi skala tujuh, sama dengan kasus Chernobyl yang sangat menakutkan Eropa kala itu. Skala tujuh adalah skala paling buruk dalam terminologi ilmu keselamatan nuklir. Yang agak melegakan, volume radiasi nuklir Fukushima hanya sepersepuluh dari Chernobyl.

Untung saja, sebulan setelah peristiwa gempa tersebut, di kampus Hakozaki Kyushu University, diadakan Seminar Terbuka dengan tema “How the Tohoku Crises Affect Us”. Seminar ini menjadi tempat mencari informasi yang benar tentang apa yang terjadi pada krisis Nuklir di Fukushima, dan apa efek radiasi nuklir terhadap kita. Sebuah momen untuk mengkonfirmasi apakah kekhawatiran itu beralasan atau hanya sekedar isu yang harus diabaikan.

Ada dua pembicara, pertama Kazuya Idemitsu, seorang Professor dalam Teknik Nuklir. Beliau membawakan makalah berjudul “Radiation Effect by the Accident at Fukushima Nuclear Power Plant”. Kedua, Hiroshi Shimizu tentang “Earthquake, Tsunami, and Vulcanoes, natural Hazards in Fukuoka”.

Peristiwa gempa pasifik di lepas pantai Tohoku telah mengakibatkan tsunami. Gempa yang sebenarnya diperkirakan berkisar 7 SR ternyata di luar dugaan, mencapai skala 9 SR. Tsunami menghantam Fukushima reaktor I unit 1 hingga 4 yang memang terletak di bibir pantai, hingga mengalami kerusakan parah.

Sebenarnya ada beberapa reaktor nuklir terletak di pantai timur seperti Onagawa, Tokai dan Fukushima I dan II, namun yang mengalami kerusakan adalah Fukushima I. Pada Fukushima I unit 1, 2 dan 3, terjadi ledakan dan kebocoran hidrogen. Selain itu ada kebocoran air yang sudah terkontaminasi.

Peristiwa gagalnya sistem pendingin dan ledakan pada reaktor ini sudah banyak dimuat di media. Namun yang menarik dari pemaparan Professor Idemitsu adalah, pemahaman akan radioaktif dan dampaknya.

Mungkin kita belum banyak yang menyadari, bahwa radioaktif adalah gejala alam biasa. Setiap zat tersusun dari atom yang beranggotakan proton, neutron, dan elektron. Elektron mengitari proton yang bergabung dengan dengan neutron dalam inti yang disebut nukleus.

Jumlah proton dalam nukleus menentukan jenis materialnya. Ketika protonnya berjumlah delapan, maka atom itu adalah oksigen. Ketika proton ada 17, maka atom itu adalah klorine.

Jumlah neutron dalam atom bisa saja berbeda, walaupunnya materialnya sama. Contohnya, Carbon-12 memiliki neutron enam. Sedangkan, Carbon-13 dan Carbon-14, ada tujuh dan delapan neutron. Yang stabil adalah Carbon-12 dan 13. Sedangkan Carbon-14 tidak stabil.

Ketika suatu atom tidak stabil, dia akan memancarkan energinya untuk menjadi stabil. Ini yang kita kenal dengan istilah radioaktif. Dalam beberapa bentuk, bisa berupa partikel sinar alfa, beta, gamma, dan neutron. Proses pemancaran energi dikenal dengan nama radioaktif decay.

Diantara partikel radioaktif, sinar alfa yang terlemah karena tidak bisa menembus sehelai kertas. Sinar beta akan terpental dengan perisai kayu atau alumunium. Sedangkan sinar gamma tidak bisa menembus besi atau timbal. Sinar yang paling kuat adalah sinar neutron, hanya bisa ditahan dengan beton, air, atau plastik.

0 komentar:

Posting Komentar